Bagaiamana Runtuhnya Kerajaan Majapahit??

M Firin
6 min readFeb 22, 2019

--

Runtuhya Kerajaan Majapahit terdapat dua versi yang berada dalam sebuah perasasti yang berbeda, yang pertama pada naskah cerita Babad Tanah Jawi dan naskah Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman mataram Islam menyebutkan bahwa Majapahit runtuh akibat pemberontakan Raden Patah (Sultan Demak) terhadap Raja Majapahit (Raden Kertabumi/Brawijaya V) yang tak lain bapak kandungnya sendiri. Untuk versi kedua pada prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit seperti “Negara kertagama, pararaton,” pada prasasti “Petak dan Trailokyapuri” menerangkan, Majapahit runtuh akibat serangan tentara Keling (Kediri) pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan (Mashad, 86:2014).

Menurut Versi Pertama dari naskah cerita Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, bahwa Majapahit pada saat dimpimpin oleh Raden Kertabhumi (Nama sebenarnya) /Bhree Wijaya V (Bhree bisa dikatakan sebagai penguasa) / Prabhu Brawijaya v (bisa dikatakan Prabhu Brawijaya V merupakan sebuah gelar) / Brawijaya Pamungkas (Pamungkas dalam bahasa Jawa berarti Terakhir, di era modern biasanya digunakan sebagai penyebutan “Senjata Pamungkas” atau pengertianya sejata terakhir yang paling kuat). Beliau diserang oleh kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah yang tidak lain anak Beliau sendiri dari seorang selir Cina peranakan (anak dari) muslim yang bernama Kyai Bantong atau Syeckh Bantong.

Diluar cerita diatas Raden Kertabhumi juga memiliki seorang selir bernama Dewi Amarawati. Orang tua Dewi Amarawati bernama Bong Tak Keng yang beragama Islam merupakan seorang raja Champa (mungkin sekarang posisi kerajaanya berada di Kamboja Selatan) yang tak lain ialah anak buah Ceng Ho.

Dewi Amarawati merupakan adik ipar Syeh Ibrahim As-Samarqand (Syeh Ibrahim Smorokondi) yang menagiwini kakak perempuan saudara Dewi Amarawati bernama Candrawati. Dari perkawinan Syeh Ibrahim As-Samarqand (Syeh Ibrahim Smorokondi) dan Candrawati melahirkan pertama Ali Murtadlo (Raden Santri) dan kedua nama Cina Bong Swie Ho/Sunan Ampel (Sunan merupakan sebuah gelar penguasa wilayah pada saat itu)/Raden Rahmad (Patut diketahui pada saat itu seseorang bisa memiliki nama lebih dari satu). Sehingga bisa dikatakan bahwa Dewi Amarawti adalah bibi Sunan Ampel pendiri Dewan Wali Sangha.

Dari perkawinan Radhen Kertabhumi dengan Dewi Amarawati lahir tiga orang anak, anak pertama putri dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV (Adipati penging, kalau sekarang mungkin disekitaran Surakarta atau Boyolali), anak kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura secara turun menurun hingga zaman Belanda, anak ketiga bernama Raden Jaka Gugur yang dikenal dengan Sunan Lawu (penguasa mistik Gunung Lawu) keberadaanya di Gunung Lawu disalapahami oleh warga sebagai Prabhu Brawijaya V (nama Gelar).

Terus siapa Raden Patah? Perlu diketahui bahwa Raden Kertabhumi mempunyai banyak selir dengan mempunyai 117 anak. Salah satu selir bernama Siu Ban Ci (nama cina) dari orang tua bernama Siu Te Yo dan Tan Go Wat atau Syekh Bantong. Ketika Siu Ban Ci mengandung diberikan kepada Abdillah/Jaka Dillah/Arya Damar/Swan Liong (patut diketahui seperti penjelasan sebelumnya pada zaman tersebut wajar ketika memiliki banyak nama) Adipati Palembang, paman dari Raden Kertabhumi sendiri. Arya Damar merupakan anak dari Prabu Wikramawardana/Sang Hyang Wisesa dengan selir Tion Hoa bernama Endang Sasmitapura. Setelah diberikan kepada Arya Damar dengan keadaan mengandung lahirlah anak bernama Raden Patah dan hasil dari pernikahan Arya Damar dengan Siu Ban Ci melahirkan anak bernama Raden Kusen.

Setelah kedua anak tersebut dewasa menghadap kepada Raden Kertabhumi lantas kedua anak tersebut diberikan wilayah kekuasaan. Raden Patah menjadi adipati Glagah Wangi (Demak) sedangkan Raden Kusen menjadi adipati Terung. Lanjut kecerita kadipaten Demak pimpinan R. Patah membentuk Dewan penasehat yang diberi nama oleh Sunan Ampel sebagai Wali Sanga (tahun 1474). Karena adipati Demak lama sekali tak menghadap ke Majapahit, akhirnya adipati Terung (R. Kusen) ditugaskan raja untuk menjemput R. Patah menghadap ke Raden Kertabhumi (Prabu Brawijaya V). Akan tetapi ajakan dari R. Kusen ditolak oleh R. Patah dengan alasan bahwa beliau Raden Kertabhumi dianggap masih kafir. Bahkan sebagai antisipasi hukuman dari Majapahit akibat tolakan tersebut, R.Patah telah lebih dahulu mengumpulkan para bupati pesisir Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit.

Perajurit Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan. Tentara Demak dibawah pimpinan R. Imam diperlengkapi dengan sejata sakti “Keris Makripat” pemberian dari Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan Badhong (anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angina rebut). Sedangkan bala tentara Majapahit dalam Versi Pertama konon dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada (padahal gajah mada telah mati pada zaman Hayamwuruk, atau mungkin patih era itu bernama Gajah Mada), adipati Terung atau R. Kusen (Adik seibu R. Patah), dan Andayaningrat atau adipati Penging (Ipar R.Patah). Sedangkan Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga putra adipati Penging membelot ke Demak, dikarenakan takut kepada Syekh Lemah Abang atau Siti Jenar sebagai gurunya.

Dalam perang tersebut akhirnya pasukan tentara Majapahit dipukul mundur sampai ke ibukota, karena terdesak akhirnya Raden Kertabhumi atau Brawijaya V pada tahun 1399 Saka atau 1477 M mengungsi ke Sengguruh berserta keluarganya di iringi sang patih dan bersama pengikut setia, sehingga ketika R. Patah tiba, istana sudah kosong. Ketika ibu kota Mahajapahit sudah direbut oleh R. Patah semua perajurit dan daerah pedikan Majapahit, R. Kusen ingin membalas dengan menyerbu Demak dengan pasukanya dari Madura. Akhirnya R. Patah mengutus Senopati Demak Bintara (Sunan Kudus) untuk menemui R. Kusen dengan membawa pasukan Demak Binatara, R. Kusen di ultimatum menyerah atau dihancurkan, pada akhirnya R. Kusen menyerah kepada Demak.

Untuk menawarkan segala pengaruh raja Kafir, diagkatlah Sunan Giri sebagai Raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak. R. Kusen yang telah takluk ditugasi mengusung paseban (ruang tamu) raja Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid Demak. Sebelum itu setelah ibu kota Majapahit dikuasai Demak, terjadilah tragedi kemanusiaan, karena perang yang semula militer Majapahi Vs Demak akhrinya merembet ke perang sipil.

Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan lama langsung berhadapan dengan secara frontal yang telah berpindah keyakinan. Eksodus benar-benar terjadi, para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat yang tetap memegang teguh keyakinanya, menyingkir ketempat-tempat yang dirasa aman seperti gunung Bromo, hutan, dan banyak pula yang menyeberang ke Bali. Dengan dikawal pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, Raden Kertabhumi atau Brawijaya V menyingkir kearah timur dan sementara itu tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat barisan pasukan ini berserta penduduk Blambangan ikut suka rela menggabungkan diri. Akhirnya setelah itu Raden Kertabhumi atau Brawijaya V Sabdo Palon Naya Genggong menambahkan hati Sang Prabhu bahwa: Nasi sudah menjadi bubur dan tidak patut disesali lagi.

Sementara itu, setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar Panembahan Jinbun, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan Jaran Panoleh ke Sengguruh meminta sang Prabhu agar masuk Islam. Menurut satu versi, beliau tetap menolak sehingg Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya V lari kepulau Bali. Namun versi lain yang lebih kuat menyebut R. Patah mengutus Sunan Kalijaga yang ternyata berhasil mengislamkan Prabhu Brawijaya V.

Untuk runtuhnya Majapahit Versi Kedua menyebutkan fakta lain bahwa Majapahit runtuh diserang Girindrawardana (Kediri), bukan oleh Demak. Informasi bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak, dapat ditelusur sebagai akibat kesalahapahaman semata. De Graf (juga Mohammad Yamin) mencatata bahwa Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Brawijaya V seringkali disalahpahami sebagai sosok yang sama dengan tokoh sunan Giri, seorang ulama muslim anggota Walisanga.

Pendapat serupa dikemukakan Muhammad Yamin, yang menyatakan bahwa nama seorang Giri dalam beberapa babad menceritakan keruntuhan Majapahit merupakan nama penganut Hindu bernama : Girindrawadhana. Pengarang Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda (ditulis abad XVII) mencampuradukkan antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri. Padahal kedua tokoh ini samasekali berbeda. Dari sinilah kesalapahaman tersebut berlanjut, bahwa sampai pendapat bahwa: Majapahit runtuh akibat serangan Demak.

Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku Javaansche Geschiedenis juga menolak anggapan bahwa penyerang Majapahit era Brawijaya V adalah Demak. Menurut Krom serangan yang dianggap menewaskan Brawijaya V itu dilakukan Girindrawadhana. Prof. Moh. Yamin dalam buku Gajah Mada juga menjelskan Brawijaya V tewas dalam keratin yang diserang Rana Wijaya (nama lain Girindrawadhana) dari Keling atau Kediri. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai Ibu kota kerajaan.

Semoga dari tulisan ini dapa memberikan penjelasan yang membuat rasa penasaran kawan-kawan tercukupi. Masih banyak hal yang memang perlu dijabarkan dalam tulisan ini, karena kesesuian Judul cerita sampai disitu saja.

Sumber:

Mashad Dhurorudin. 2014. Muslim Bali Mencari Kembali Harmoni yang Hilang. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

--

--

M Firin

Gresik, imigran gelap dari Wordpress. Catatan harian iseng.